Minggu, 07 Juni 2009

SKRIPSI: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN DENGAN ANGKA KEJADIAN ANEMIA REMAJA PUTRI SMU N I YOGYAKARTA TAHUN 2007

Anemia merupakan salah satu dari berbagai masalah gizi di Indonesia
yang harus ditanggulangi secara serius, terutama anemia gizi besi. Penyebab
anemia gizi besi ialah karena kurangnya pemasukan zat besi, berkurangnya
sediaan zat besi dalam makanan, meningkatnya kebutuhan akan zat besi,
kehilangan darah yang kronis, penyakit malaria, cacing tambang dan infeksiinfeksi
lain serta pengetahuan yang kurang tentang anemia gizi besi. Akhir - akhir
ini beberapa penelitian menunjukkan tingginya anemia pada remaja putri siswa
SMU sehingga memerlukan penanggulangan yang serius karena akan
mempengaruhi kualitas generasi yang akan datang.
Penelitian ini mempunyai tujuan umum yaitu untuk mengetahui
hubungan antara tingkat pengetahuan dengan angka kejadian. Jenis penelitian
yang digunakan adalah observasional, dilihat dari waktunya merupakan penelitian
cross sectional. Sampel penelitian adalah 46 remaja putri SMU N I Yogyakarta
yang memenuhi kriteria inklusi. Pengolahan data menggunakan program SPSS.
Analisis uji korelasi menggunakan Chi Square test.
Hasil penelitian menunjukkan nilai 0,603 dengan signifikansi 0,437.
Karena nilai signifikansi jauh di atas 0,05 maka dapat dikatakan bahwa tidak ada
hubungan antara kejadian anemia dengan tingkat pengetahuan seseorang. Faktorfaktor
lain yang sebelumnya diduga berpengaruh pada hubungan antara
pengetahuan dengan angka kejadian anemia, ternyata tidak terbukti. Berdasarkan
hasil penelitian ini menunjukkan bahwa banyaknya remaja putri yang
mengeluhkan gejala anemia di SMU N I Yogyakarta tidak mencerminkan adanya
masalah anemia di SMU tersebut. Tingkat pengetahuan yang baik tidak
mempengaruhi angka kejadian anemia..
Kesimpulan dari penelitian ini adalah tidak ada hubungan yang signifikan
antara tingkat pengetahuan dengan angka kejadian anemia remaja SMU N I
Yogyakarta. Saran dari penelitian ini adalah pemasangan poster – poster anemia
di sekolah dan lebih mengaktifkan peran dokter jaga dan UKS.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masa depan suatu bangsa ditentukan oleh kuantitas dan kualitas dari
generasi muda. Dilihat dari segi kuantitas, jumlah penduduk usia remaja (10 -
19 tahun) di Indonesia adalah sebesar 22,2 % dari total penduduk Indonesia,
terdiri dari 50,9 % laki - laki dan 49,1 % perempuan (Kurniawan, 2002).
Ditinjau dari tempat domisili, di perkotaan penduduk berumur 10 - 19 tahun
mencapai 22,1 % terdiri atas 10,5 % berumur 10 - 14 tahun dan 11,6 %
berumur 15 - 19 tahun, sedangkan di pedesaan penduduk berumur 10 - 19
tahun dan 9,6 % usia 15 - 19 tahun. Persentase penduduk remaja 10 - 19 tahun
di perkotaan tidak berbeda jauh dengan remaja di pedesaan akan tetapi
penduduk usia 15 - 19 tahun lebih tinggi persentasenya di perkotaan (Surjadi,
2002).
Jumlah remaja di banyak negara berkembang tumbuh dengan pesat.
Kelompok ini pada lima tahun terakhir merupakan salah satu perhatian utama
karena gaya hidup mereka yang unik dan berbeda dengan kelompok umur
lainnya dari generasi sebelumnya (Surjadi, 2002). Sifat energik pada usia
remaja menyebabkan aktifitas fisik tubuh meningkat. Selain itu keterlambatan
tumbuh kembang tubuh pada usia sebelumnya akan dikejar pada usia ini.
Pemenuhan kecukupan gizi sangat penting agar tumbuh kembang berlangsung
sempurna (Moehji, 2003).

Masa remaja merupakan suatu masa transisi dari masa kanak - kanak
ke masa dewasa (Kurniawan, 2002). Pada masa ini terjadi pertumbuhan yang
pesat (Adolescence Growth Spurt), sehingga memerlukan zat - zat gizi yang
relatif besar jumlahnya (Sediaoetama, 2000). Dalam hal ini remaja putri
memerlukan perhatian khusus dalam hal kesehatan, karena pada masa ini
merupakan masa persiapan menjadi ibu (Sayogo, 2000). Kebutuhan zat besi
pada remaja putri meningkat dengan adanya pertumbuhan dan datangnya
menarke (Rangen, et al.,1997). Aktivitas yang berat dapat meningkatkan
kebutuhan zat besi. Defisiensi zat besi sering terjadi pada wanita dan hal ini
dapat mengganggu prestasi belajar karena menurunkan produksi energi dan
menyebabkan akumulasi laktat dalam otot (Moore, 1997).
Pola makan remaja akan berpengaruh pada kesehatan gizi. Pemilihan
makanan tidak lagi didasarkan pada kandungan gizi tetapi sekedar
bersosialisasi untuk kesenangan dan supaya tidak kehilangan status.
Kehadiran fast food dapat mempengaruhi pola makan remaja (Khomsan,
2003). Fast food umumnya rendah zat besi, kalsium, riboflavin, vitamin A dan
asam folat. Fast food mengandung tinggi lemak jenuh kolesterol dan sodium
(Spear, 2000). Berbagai bentuk gangguan gizi pada usia remaja yang sering
terjadi diantaranya adalah kekurangan energi dan protein, anemia gizi serta
defisiensi berbagai vitamin (Khomsan, 2003). Anemia merupakan salah satu
dari berbagai masalah gizi di Indonesia yang harus ditanggulangi secara
serius, terutama anemia gizi besi. Penyebab anemia gizi besi ialah karena
kurangnya pemasukan zat besi, berkurangnya sediaan zat besi dalam makanan,

meningkatnya kebutuhan akan zat besi, kehilangan darah yang kronis,
penyakit malaria, cacing tambang dan infeksi - infeksi lain serta pengetahuan
yang kurang tentang anemia gizi besi. Anemia gizi besi dapat berdampak pada
perkembangan fisik dan psikis, perilaku, penurunan kerja fisik dan daya
pendapatan, penurunan daya tahan terhadap keletihan, peningkatan angka
kesakitan dan kematian (DeMaeyer, 1995).
Menurut WHO Regional Office SEARO, salah satu masalah gizi
remaja putri di Asia Tenggara adalah anemia defisiensi zat besi yaitu kira -
kira 25 - 40 % remaja putri menjadi korban anemia tingkat ringan sampai
berat (Kusin, 2002). Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (1995)
menunjukkan bahwa prevalensi anemia remaja putri di indonesia adalah 57,1
% (Sunarko, 2002). Prevalensi anemia pada remaja putri di tiga Sekolah
Menengah di Jakarta Timur dengan usia rata - rata 15,6 tahun adalah sebesar
21 % (Angeles dan Agdeppa, 1997). Hasil penelitian yang dilakukan Lestari,
et al., di SMU Cibinong, Ciawi, Leuwang dan Parung Kabupaten Dati II
Bogor pada bulan Agustus 1997 - Januari 1998 menunjukkan prevalensi
anemia remaja putri (16 - 19 tahun) sebesar 50,5 % yang meliputi anemia
ringan sebesar 47,3 % dan anemia sedang 3,2 %. Penelitian lain juga
dilakukan di perkampungan miskin di Jakarta Utara menunjukkan prevalensi
anemia remaja putri (15 - 19 tahun) ada 71,4 % (Surjadi, 2002). Penelitian lain
juga telah dilakukan pada 71 siswi kelas I dan II Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama, memperoleh hasil bahwa prevalensi anemia defisiensi besi sebesar
5,7 % dan non defisiensi besi 20 % dari subjek penelitian (Sayogo, et. al 2000)

Pola menu makanan di Indonesia, besi yang diabsorpsi lebih kurang 10
%. Rendahnya kadar zat besi dalam diet sehari - hari maupun kurangnya
tingkat absorpsi zat besi yang terkandung dalam sumber nabati hanya
merupakan sebagian alasan tingginya angka prevalensi anemia gizi besi di
Indonesia (Aziz, 1996). Bentuk zat besi di dalam makanan berpengaruh
terhadap penyerapannya. Zat besi hem yang merupakan bagian dari
hemoglobin dan mioglobin yang terdapat di dalam daging hewan dapat
diserap dua kali lipat daripada zat besi non hem. Kurang lebih 40 % dari zat
besi ada di dalam daging, ikan, ayam yang terdapat sebagai zat besi hem dan
selebihnya non hem. Makan makanan yang mengandung zat besi hem dan non
hem secara bersama - sama dapat meningkatkan penyerapan zat besi non hem
(Almatsier, 2002).
Apabila makanan yang dikonsumsi setiap hari tidak cukup
mengandung zat besi atau absorpsinya rendah maka ketersediaan zat besi
untuk tubuh tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan akan zat besi. Hal ini
terutama terjadi pada orang - orang yang mengkonsumsi makanan yang
kurang beragam, seperti menu makanan yang hanya terdiri dari nasi dan
kacang - kacangan (Husaini, 1989). Indikator yang paling umum digunakan
untuk mengetahui kekurangan zat besi adalah ukuran jumlah dan ukuran sel
darah merah serta nilai hemoglobin darah. Nilai hemoglobin kurang peka
terhadap tahap awal kekurangan zat besi, akan tetapi berguna untuk
mengetahui berat ringannya anemia. Nilai hemoglobin yang rendah dapat
digunakan untuk menggambarkan kekurangan zat besi yang sudah lanjut.

Disamping kekurangan zat besi, nilai hemoglobin yang rendah dapat
disebabkan oleh kekurangan protein atau vitamin B6 (Almatsier, 2001). Batas
rendah kadar hemoglobin untuk wanita (tidak hamil) adalah 12 gram / dl
(DeMeyer, 1995).
Anemia adalah suatu keadaan di mana kadar Hemoglobin dan hitung
Eritrosit lebih rendah dari normal. Menurut teori, normal Hemoglobin pada
pria 14 - 18 gr % sedang wanita 12 - 16 gr %. Normal Eritrosit pada pria 4,5 –
5,5 jt / mm3 sedang untuk wanita 3,5 - 4,5 jt / mm3. Anemia umumnya terjadi
pada wanita dan remaja putri dibandingkan dengan pria. Kebanyakan
penderita tidak tahu atau tidak menyadari bahkan menganggap hal itu sepele.
Sebagaimana termuat dalam brosur yang diterbitkan Phapros Produsen Supra
Livron, kalau dibiarkan anemia dapat mengganggu kegiatan sehari-hari.
Gejala - gejala yang sering timbul antara lain pusing, lemah, letih, lelah dan
lesu (Guntoro Utamadi, PKBI). Kekurangan zat besi menimbulkan beberapa
gejala yang tidak terlalu kelihatan jelas, seperti mudah lelah bila berolahraga,
sulit konsentrasi dan mudah lupa. Mengingat hal ini juga biasa dialami oleh
orang sibuk yang sehat dan tidak kekurangan zat besi sekalipun, gejala - gejala
seperti ini sering terhindar dari perhatian. Pada umumnya, seseorang mulai
curiga akan adanya anemia bila keadaan sudah makin parah sehingga
gejalanya kelihatan lebih jelas, seperti kulit pucat, jantung berdebar - debar,
pusing, mudah kehabisan nafas ketika naik tangga atau olahraga (karena
jantung harus bekerja lebih keras untuk memompa oksigen ke seluruh tubuh).
(Guntoro Utamadi, PKBI).

Akibat dari anemia ini jika tidak diberi intervensi dalam waktu lama
akan menyebabkan beberapa penyakit seperti gagal jantung kongesif sebab
otot jantung yang kekurangan oksigen tidak dapat menyesuaikan diri dengan
beban kerja jantung yang meningkat, parestesia dan konfusi kanker, penyakit
ginjal, gondok, gangguan pembentukan heme (pigmen pembentuk warna
merah pada darah mengandung zat besi), penyakit infeksi kuman, thalasemia
(kurang cepatnya pembuatan satu rantai / unsur pembentuk hemoglobin),
kelainan jantung, rematoid, kecelakaan hebat, meningitis, gangguan sistem
imun dan sebagainya (Reksodiputro, 2004). Pada anemia yang berat dapat
juga timbul gejala saluran cerna yang umumnya berhubungan dengan keadaan
defisiensi seperti anoreksia, nausea, konstipasi atau diare dan stomatitis
(sariawan lidah dan mulut). Beberapa penyebab ini terjadi bila keadaan
anemia sudah kronis dan kurang mendapat intervensi dari tim medis (Price,
1995). Di antara akibat lain dari anemia adalah meningkatnya kesakitan dan
kematian, perkembangan otak, motorik, mental, kecerdasan dan pertumbuhan
fisik akan terhambat, menurunkan kemampuan fisik olahragawati,
mengakibatkan muka pucat sehingga hal itu bisa menurunkan semangat dan
prestasi belajar jika terjadi pada remaja usia sekolah (Seminar Hari Anak
Nasional, 2005).
Untuk mengatasinya dianjurkan mengkonsumsi makanan yang
mengandung zat besi. Fungsi zat besi ini dituntut untuk pembentukan
Hemoglobin (sel darah merah) yang baru. Zat besi (Fe) secara alamiah bisa
didapatkan pada hati, jantung, sayuran berwarna hijau dan kacang - kacangan.

Bagi anak-anak dan remaja putri, anemia dapat menyebabkan menurunnya
gairah belajar dan konsentrasi serta dapat mengganggu pertumbuhan. Tinggi
dan berat badan tidak sempurna. Selain itu, daya tahan tubuh akan menurun
sehinggga mudah terserang penyakit. Bagi mereka yang memiliki aktivitas
tinggi, karena gangguan anemia sering merasa pusing, lelah, letih dan lesu.
Akibatnya produktivitas pun menurun. Pencegahan adanya anemia defisiensi
besi dapat dilakukan dengan empat pendekatan dasar yaitu dengan
memperkaya makanan pokok dengan zat besi, pemberian suplemen tablet zat
besi, pendidikan dan langkah- langkah yang berhubungan dengan peningkatan
masukan zat besi melalui makanan serta pencegahan terhadap infeksi
(DeMaeyer, 1995).
Penulis telah melakukan studi pendahuluan di SMU N I Yogyakarta.
Dari studi pendahuluan yang telah dilakukan, telah didapat 12 sampel dari
populasi remaja putri SMU N I Yogyakarta yang mengeluhkan gejala anemia
seperti kepala pusing, lemah, lesu, susah tidur, susah berkonsentrasi, mudah
lelah di saat melakukan aktifitas fisik seperti olah raga dan aktivitas lainnya.
Setelah dilakukan wawancara terhadap 12 sampel telah diperoleh data bahwa
sembilan sampel tidak mengetahui jenis makanan yang mengandung zat besi
sehingga mereka mengeluhkan gejala anemia yang telah disebutkan. Tiga
responden yang tidak mengetahui kalau gejala seperti kepala pusing, lemah,
lesu, susah tidur, susah berkonsentrasi, mudah lelah hampir pingsan adalah
gejala anemia dan mereka belum mengetahui efek samping yang ditimbulkan
jika gejala tersebut tidak segera diberi intervensi. Dalam menanggapi

permasalahan kesehatan remaja khususnya remaja putri pihak sekolah telah
mendatangkan dokter jaga yang datang di hari Rabu. Para sampel
mengeluhkan tentang kurang berperannya dokter dalam permasalahan
kesehatan dan juga mereka mengeluhkan kalau dokter tersebut jarang
melakukan pembinaan kesehatan kepada para siswa dan hanya memeriksa
kondisi fisik umum dari tekanan darah, nadi, suhu, denyut jantung serta dari
pihak sekolah jarang memberikan waktu khusus guna melakukan penyuluhan
kesehatan remaja sehingga berbagai macam keluhan kesehatan timbul dan
yang paling sering dikeluhkan dari berbagai masalah kesehatan adalah gejala
anemia.
Dari uraian permasalahan di atas, penulis tertarik untuk meneliti di
SMU tersebut dengan mengambil judul “Hubungan antara Tingkat
Pengetahuan dengan Angka Kejadian Anemia Remaja Putri SMU N I
Yogyakarta Tahun 2007”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dibuat rumusan masalah
sebagai berikut :
Apakah ada hubungan antara tingkat pengetahuan dengan angka
kejadian anemia remaja putri SMU N I Yogyakarta Tahun 2007?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum :
Mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan dengan angka
kejadian anemia remaja putri SMU N I Yogyakarta Tahun 2007.
2. Tujuan Khusus :
a. Mengetahui tingkat pengetahuan remaja putri SMU N I Yogyakarta.
b. Mengetahui angka kejadian anemia remaja putri SMU N I Yogyakarta.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Ilmu Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan
dalam memberikan penyuluhan remaja khususnya remaja SMU tentang
anemia remaja.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi
pengelola SMU N I Yogyakarta untuk mengetahui prevalensi anemia
remaja putri.
3. Bagi Responden
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai wacana bagi remaja
putri SMU N I Yogyakarta untuk mengetahui tentang anemia.
4. Bagi Peneliti lain
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai pertimbangan untuk
mengembangkan penelitian selanjutnya tentang anemia remaja.

E. Ruang Lingkup
1. Variabel yang diteliti
Penelitian ini menggunakan dua variabel. Tingkat pengetahuan
sebagai variabel bebas dan angka kejadian anemia sebagai variabel
terikat.
2. Subyek
Responden dari penelitian ini adalah remaja putri SMU N I
Yogyakarta dengan kriteria inklusi sebagai berikut :
a. Remaja putri yang berumur 15 – 19 tahun.
b. Remaja putri yang mengalami dan yang tidak mengalami keluhan
tanda – tanda anemia.
c. Remaja putri yang bersedia menjadi responden dan menandatangani
surat persetujuan.
d. Remaja putri yang bersedia diperiksa kadar Hbnya.
3. Lokasi
Penelitian ini di lakukan di SMU N I Yogyakarta.
4. Waktu Penelitian
Oktober - November 2007.
F. Keaslian Penelitian
Sepanjang pengetahuan penulis, penelitian tentang hubungan
antara tingkat pengetahuan dengan angka kejadian anemia remaja putri SMU
N I Yogyakarta Tahun 2007 belum pernah diteliti oleh peneliti lain. Adapun
penelitian yang hampir serupa adalah :

1. Sayogo, dkk., 2000. A Study On The Intervention Scheme to Reduce
Anemia in Female Adolescents, In Curug, Tangerang.
Penelitian ini dilakukan pada 71 siswi kelas I dan II Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara
cluster class. Intervensi yang diberikan berupa tablet mengandung 200 mg
sulfas ferosus dan 0,25 mg asam folat selama 10 hari perbulan dalam
jangka tiga bulan berturut - turut. Berdasarkan feritin serum dan Hb
didapatkan bahwa defisiensi besi terdapat pada 5,7 % dari subjek
penelitian. Setelah pemberian suplementasi didapatkan kenaikan bermakna
baik pada kadar feritin serum maupun Hb. Perbedaan penelitian ini dengan
penelitian penulis adalah dalam penelitian ini tidak diberikan kuesioner
untuk mengetahui tingkat pengetahuan remaja tentang anemia.
2. Diesmurni (2005). Hubungan antara Konsumsi Makan dengan Kadar Hb
dan Aktifitas Fisik pada Remaja Putri di SMA Kota Yogyakarta.
Penelitian ini menggunakan metode survey dan dengan rancangan
cross sectional. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi
anemia remaja putri di SMA Kota Yogyakarta sebesar 54,59 % dan non
anemia sebesar 45,41 %. Hasil uji korelasi menunjukkan tidak ada
hubungan yang bermakna antara energi dengan kadar hemoglobin karena
dipengaruhi oleh nilai ekstrimitas energi yang jauh dari nilai rata - ratanya,
tetapi bila dilihat dari rata - rata konsumsi energi maka ada perbedaan
antara anemia dan non anemia. Hasil uji korelasi menunjukkan tidak ada
hubungan yang bermakna antara kadar hemoglobin dengan aktivitas fisik

karena dipengaruhi oleh nilai ekstrimitas aktivitas fisik yang jauh dari nilai
rata - ratanya, tetapi bila dilihat dari rata - rata aktivitas fisik ada
perbedaan antara anemia dan non anemia. Perbedaan penelitian ini dengan
penelitian penulis adalah dalam penelitian ini tidak diberikan kuesioner
untuk mengetahui tingkat pengetahuan remaja tentang anemia.
3. Erna (2005). Hubungan Asupan Faktor Inhibitor Absorpsi Zat Besi (
Tanin, Fitat, Asam Folat ) dengan Kadar Hb Remaja Putri SMA Kota
Yogyakrta.
Penelitian ini menggunakan metode survey dan dengan
menggunakan rancangan cross sectional. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan semakin tinggi asupan tanin semakin rendah kadar Hb
remaja putri yaitu setiap peningkatan 1 mg asupan tanin akan menurunkan
kadar Hb sebesar 0,0004 g / dl (p = 0,675). Ada hubungan yang bermakna
antara asupan fitat dengan kadar Hb pada remaja putri, yaitu semak in
tinggi asupan fitat semakin rendah kadar Hb, setiap peningkatan 1 mg
asupan fitat akan menurunkan kadar Hb sebesar 0,031 g / dl (p = 0,026).
Semakin tinggi asupan asam oksalat semakin rendah kadar Hb remaja
putri yaitu setiap peningkatan 1 mg asupan asam oksalat akan menurunkan
kadar Hb sebesar 0,005 g / dl (p = 0,450). Perbedaan penelitian ini dengan
penelitian penulis adalah dalam penelitian ini tidak diberikan kuesioner
untuk mengetahui tingkat pengetahuan remaja tentang anemia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar